IKLAN

Jumat, 29 Juni 2012

MASJID AN-NAHL MELANJUTKAN PEMBANGUNAN MASJID

Pengurus Masjid An-Nahl kembali melanjutkan pembangunan dalam rangka pengembangan/perluasan masjid An-Nahl Bumi Permata Sudiang 2 Kelurahan Sudiang Raya. Pembangunan yang dilaksanakan yaitu : Pengecoran atap masjid bagian kanan. Dana yang digunakan berasal dari swadaya jama'ah melalui donatur jama'ah masjid. Pelaksanaan pengecoran tersebut dilakukan secara gotong royong dari jama'ah masjid An-Nahl.
Gambar Gotong royong Pengecoran atap Masjid An-Nahl 3 Juni 2012
Berikut gambar di bawah ini memperlihatkan kegiatan Pembangunan Betonisasi atap yang dilaksanakan secara gotong royong.


Tampak Dalam Gambar (berbaju abu-abu memakai topi)
Ketua Masjid ikut bersama  jama'ah  bergotong royong melaksanakan
Pengecoran

Pengecoran/betonisasi selesai saat memasuki waktu shalat Dhuhur

Kamis, 21 Juni 2012

SYARAT-SYARAT ZAKAT


Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.

Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka.[1]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.[2]

Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok.[3]
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.

(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”[4]
Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini dianggap sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[5]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
1.    Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
2.    Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[6]
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan, (b) harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.[7]
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan yang disimpan, kendaraan, dan rumah.[8]
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat.  Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Tidak zakat bagi perak di bawah 5 uqiyah[9], tidak ada zakat bagi unta di bawah 5 ekor dan tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq[10].[11]
Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.”[12]
Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul. Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[13]
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. [14]
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:
1.    Atsman (emas, perak dan mata uang).
2.    Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
3.    Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).
-bersambung insya Allah-
Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 02 Juni 2012


Objek Kajian Ilmu Aqidah


Aqidah dilihat dari sudut sebagai ilmu, sesuai dengan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meliputi topik-topik: Tauhid [2], iman, Islam, masalah ghaibiyat (hal-hal ghaib), kenabian, taqdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang. pent), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan; dan termasuk pula sanggahan terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dan non Ahlus Sunnah. Di antara nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. ‘Aqidah (I’tiqad dan ‘Aqa’id). Maka sering kita dengar ungkapan: Aqidah kaum salaf, Aqidah Ahlul Atsar. [3]
2. Tauhid [4] karena pembahasannya berkisar seputar tauhid atau pengesaan Allah di dalam Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ serta Sifat-Nya. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu aqidah yang paling mulia dan merupakan esensinya. Maka dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid menurut salaf.
3. As-Sunnah, [5] as-Sunnah artinya jalan. Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya di dalam masalah aqidah.
4. Ushuluddin [6] dan Ushuluddiyanah. Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para tokoh ulama.
5. Al-Fiqh al-Akbar. [7] Ini sinonim Ushuluddin, kebalikan dari al-Fiqh al-Ashghar yang merupakan kumpulan hukum ijtihadi.
6. Asy-Syari’ah. [8] Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah aqidah).
Itulah beberapa nama lain dari Ilmu Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus sunnah menamakan aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asya’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh aliran/ sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari Ilmu Aqidah, yang paling terkenal di antaranya adalah:
1. Ilmu Kalam. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asya’irah [9] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsiptaqawwul(mengatakan sesuatu) atas nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu, dan juga karena bertentangan dengan metodologi ulama salaf di dalam menetapkan masalah-masalah aqidah.
2. Filsafat: Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai di dalam aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pan-dangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf: Istilah ini dipakai oleh sebahagian kaum sufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini juga merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan karena igauan kaum sufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam aqidah.
4. Ilahiyyat (Teologi): Nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikut-nya. Ini juga merupakan penamaan yang salah, karena yang mereka maksud adalah filsafat kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa ta’ala menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di balik alam Metafisika. Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta mereka yang sejalan dengannya. [10] Nama ini hampir mempunyai kesamaan dengan istilah Ilahiyyat (teologi).
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai ’aqa’id sekalipun hal itu palsu (batil) atau tidak mempunyai dasar dalil aqli maupun naqli. Sesungguhnya aqidah itu mempunyai pengertian yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih serta Ijma’ generasi salaf ash-shalih. Meskipun demikian, Aqidah juga mempunyai pengertian yang keliru, yaitu seperti keyakinan-keyakinan yang bertentangan atau menyalahi keyakinan yang datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Jadi, pengertian aqidah itu seperti pengertian ad-dien (agama). Ad-Dien al-haq (agama yang haq) yaitu agama Allah disebut dengan dien (agama), dan begitu pula keyakinan kaum musyrikin pada agama selain agama Allah disebut dien (agama), sebagaimana firman Allah :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami”. (al-Kafirun :6).
Orang Komunis menganut ideologi dan keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan agama.
Seorang Budhis menganut keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan agama.
Seorang Yahudi menganut keyakinan dan pemikiran batil, dan ia menyebutnya sebagai aqidah dan agama.
Seorang Nasrani menganut keyakinan dan aqidah batilnya, dan ia menyebutnya sebagai aqidah dan agama.
Adapun aqidah Islam, apabila disebutkan, maka yang dimaksud adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab ia adalah Islam yang telah Allah ridhai sebagai agama bagi hamba-hamba-Nya.
Klaim sebagian orang dan berbagai sekte (firaq) dengan segala ‘aqidahnya yang bertentangan dengan aqidah kaum salaf bahwa apa yang mereka anut itulah Islam yang sebenarnya tidak bisa mewakili aqidah Islam yang haq. Ia hanyalah keyakinan-keyakinan yang disandarkan kepada para pelopornya, sedangkan al-Haq sangat bersih dan terbebas darinya. Dan apa yang oleh sebahagian para pakar disebut “islami” hanyalah dalam rangka label geografis historis atau sekedar klaim berafiliasi belaka. Dalam artian, bahwa para pemilik dan penganutnya mengklaim sebagai “Islam” dan menyebutnya “Islami”, namun semua itu bila diteliti kembali memerlukan ujian, dan ujiannya adalah disodorkan kepada al-Qur’an dan hadits di dalam masalah Aqidah. Maka apabila sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dan memang bersumber dari situ, maka itulah yang haq dan termasuk dari bagian Aqidah Islam. Dan jika tidak demi-kian, maka dikembalikan kepada orangnya dan dinisbatkan kepadanya (tidak boleh dinisbatkan kepada Islam, Pent).
[2] Mencakup Tauhid Rububiyah, Ilahiyah dan asma’ wash shifat.
[3] Seperti : ‘Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, karya Ash-Shabuni (wafat 449 H), dan Syarah Ushuli I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya al-Lalaka’i (wafat 418H), dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi (wafat 458 H).
[4] Seperti : Kitabut Tauhid, di dalam Shahih Bukhari (wafat 256 H), Kitabut Tauhid wa Itsbat Shifatir Rabb, karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311H), Kitab I’tiqadit Tauhid, karya Abu Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat 371 H), Kitabut Tauhid, karya Ibnu Mandah (wafat 359) dan Kitabut Tauhid, karya Muhammad bin Abdul Wahhab.
[5] Seperti Kitabus Sunnah, karya Imam Ahmad (241 H), Kitabus Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H), as-Sunnah, karya al-Khallal (311 H), as-Sunnah, karya al-’Assal (wafat 349 H), as-Sunnah, karya al-Asyram (wafat 273 H), dan as-Sunnah, karya Abi Daud, (wafat 275 H).
[6] Seperti Kitab Ushuluddin, karya al-Baghdadi (wafat 429 H), asy-Syarhu wal Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Ibnu Baththah (wafat 378 H), dan al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya al-Asy’ari (wafat 324 H).
[7] Seperti Kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Imam Abu Hanifah (wafat 150 H).
[8] Seperti Kitab asy-Syari’ah karya al-Ajurri (wafat 360 H), dan al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah, karya Ibnu Baththah, (wafat 378 H).
[9] Seperti Syarhul Maqashid fi ‘Ilmil Kalam, karya at-Taftazani (791 H).
[10] al-Mausu’ah al-’Arabiyah al-Muyassarah, hal. 1794.

AQIDAH


Dasar-Dasar Aqidah Islam Secara Umum
Tujuan dibuatnya halaman [judul-judul] ini bukan untuk memberikan penjelasan Aqidah Islam secara luas dan dalam. Anggaplah ini sebagai perkenalan yang -mudah2an- cukup komprehensif sehingga -minimal- bisa memberikan gambaran umum atau bisa menjadi ‘pintu gerbang’ bagi siapa saja yang ingin mempelajari Aqidah Islam secara lebih luas dan dalam
PENDAHULUAN
1. Pengertian

Pengertian Aqidah

Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :
Kata “‘aqidah” diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
“Al-‘Aqdu” (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: ” ‘Aqadahu” “Ya’qiduhu” (mengikatnya), ” ‘Aqdan” (ikatan sumpah), dan ” ‘Uqdatun Nikah” (ikatan menikah). Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja …” (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang  menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah Islamiyyah:
Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta’ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta’ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW.
Aqidah Islamiyyah:
Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Nama lain Aqidah Islamiyyah:
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari’iah dan al-Iman.
Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah.
Maraji’: Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah).

Jumat, 01 Juni 2012

[Ta'awun]: Tolong Menolong dalam Kebaikan


[Ta'awun]: Tolong Menolong dalam Kebaikan

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman.
“Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [Al-Ma’idah : 2]
Pertama, Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan merupakan kalimat yang mencakup seluruh kebajikan, yang akan membawa kebaikan bagi masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam membina perabadan umat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat diatas [Al-Ma’idah : 2]
“Artinya : Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Allah melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Termasuk dalam pengertian ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam bersabda : “Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “Bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.”
An-Nushhu (nasehat) ditinjau menurut bahasa, artinya adalah mengikhlaskan diri terhadap sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat. Hal ini merupakan kewajiban ulama dan para penuntut ilmu yang pertama kali sebelum lainnya. Karena mereka (para ulama) adalah pewaris para nabi, khalifah (pengganti) Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Allah, bersabar atas segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” [Fushshilat : 33]
Kedua, Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi dari wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” [At-Taubah : 71]
Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.
Ketiga, Ta’awun diantara kaum muslimin merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan berpegang teguhnya mereka (pada agama Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :
“Artinya : Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian lainnya.”
Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan musuh-musuhnya menguasai mereka, melainkan dikarenakan berpecah belah dan berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Anfal : 46]
Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh fitrah yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair yang bijaksana :
Tombak-tombak enggan menjadi hancur apabila mereka bergabung
Namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu
Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan melainkan di atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya persatuan umat
.
Keempat, Ta’awun dan ittihad (persatuan).[2]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
“Artinya : Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” [Al-Mu’minun : 52]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala :
“Artinya : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” [Al-Anbiya’ : 92]
Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang parah, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar apa yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.” Para sahabat bertanya : “apa jumlah kita pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih, dan Allah akan mengangkat rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Allah akan menancapkan al-Wahn ke dalam hati-hati kalian.” Para sahabat bertanya : “apakah al-Wahn itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “cinta dunia dan takut mati.”[Hadits Riwayat Bukhari Muslim]
Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan umat ini yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Allah timpakan atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini). Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa salam :
“Jika kalian telah sibuk dengan jual beli inah (sistem jual beli yang terdapat unsur riba, pent.), kalian terbuai dengan peternakan dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan jihad, maka akan Allah timpakan di atas kalian kehinaan yang tidak akan terangkat sampai kalian kembali ke agama kalian.” [Hadits Shahih Riwayat Abu Daud] [3]
Seorang muslim, haruslah memiliki solidaritas dengan saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Perumpamaan kaum mukminin di dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh lainnya dengan terjaga dan demam.” [Muttafaq ‘alaihi]
Kelima, Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran merupakan sebab keselamatan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar, merupakan sebab diperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [Al-Ashr]
Kesempurnaan dan totalitas perkara ini adalah dengan saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas, kelembutan dan perhatian…
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam tidak pernah berselisih kecuali mereka membaca surat Al-Ashr[4]
Keenam, Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Ketujuh, Allah sungguh telah mencela tafarruq (perpecahan), karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja sama), pertautan (hati), kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan, kesedihan dan kebencian. Alloh Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Rum : 31-32]
Perpecahan merupakan syiar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syiarnya kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.
Kedelapan, Kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (fanatisme) yang membinasakan, berupa keburukan-keburukan dan bencana. Mereka memasukan rasa permusuhan dan kebencian di antara manusia, dikarenakan mereka berinteraksi dengan selain mereka dengan asas hizbi (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah hizbiyah (persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan partai mereka [5]. Adapun muslim non partisan, sekalipun ia teman lama dan sahabat akrabnya, prinsip mereka terhadapnya adalah “ini termasuk kelompoknya dan ini termasuk musuhnya”.
Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka lainnya adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan gerakannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan membuat keragu-raguan terhadap para ulama…
Inilah intisari ringkas keadaan kelompok-kelompok dan partai-partai yang mengikat dengan belenggu hizbiyah, yang menyembunyikan ‘desahan nafas’nya dengan ikatan rahasia. Apabila seorang muslim dari luar barisan mereka maju, maka mereka akan menuduhnya sebagai : mutsabbithun (pengendor semangat), musyawwisyun (penyulut kebingungan) dan murjifun (penggoncang barisan) yang menghendaki porak-porandanya barisan Islam dan terbukanya rahasia kepada musuh-musuh Islam.
Apabila datang seorang pemberi nasehat yang jujur dari barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang menyeleweng dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan teman seperjuangan.

DOWNLOAD ENSIKLOPEDIA ISLAM Jilid 1 [Aqidah, Tauhid, Keimanan dan hal2 yang berkaitan dengannya]


DOWNLOAD ENSIKLOPEDIA ISLAM/BUKU PINTAR ISLAM 10 JILID GRATIS

Resensi Buku secara Umum
 
Buku ini disajikan dengan bahasa yang lugas dan mudah difahami, mencakup berbagai masalah dalam syari’at islam yang disajikan secara khusus untuk setiap keluarga muslim. Buku ini disarikan dari berbagai referensi dalam masalah tauhid, keimanan, akhlak, adab, dzikir dan doa-doa serta hukum-hukum islam yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi para penceramah, da’i, guru, pedagang, ulama serta para hakim.
Buku ini memuat masalah-masalah yang sangat penting untuk diketahui oleh setiap muslim, disertai dengan penjelasan hukum yang rajih (kuat) dari setiap permasalahan yang didasarkan kepada dali-dalil yang shaih dari al-quran maupun sunnah.
Buku ini memberikan gambaran islam secara umum yang mencakup masalah aqidah, akhlak, adab, dzikir dan doa-doa serta hukum-hukum islam dan ilmu dakwah kepada Allah swt. berdasarkan ilmu dan pengetahuan.
Deskripsi Singkat untuk Masing-Masing Jilid beserta Link Downloadnya:
Jilid 1 [Aqidah, Tauhid, Keimanan dan hal2 yang berkaitan dengannya]
Buku ini menjelaskan tentang dasar-dasar keimanan dan tauhid yang diyakini oleh ahlussunnah wal jamaah berdasarkan dalil-dalil yang shahih dari al quran maupun sunnah, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, sangat penting untuk dikaji dan di telaah oleh setiap muslim, baik kalangan terpelajar maupun awam…
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 2 [Fadhilah Amal, Etika-Akhlak, Kumpulan Dzikir dan Doa]


Jilid 2 [Fadhilah Amal, Etika-Akhlak, Kumpulan Dzikir dan Doa]
Buku ini menjelaskan tentang Keutamaan Amal, Adab, Dzikir dan Doa-Doa dari Al-Quran dan Al-Hadits yang Shahih
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 3 [Fikih Ibadah]


Jilid 3 [Fikih Ibadah]
Buku ini menjelaskan tentang fiqih ibadah seperti Bersuci, Istinja’ Dan Istijmar, Sunah Fithrah, Wudhu’, Mengusap Sepatu, Hal Yang Membatalkan Wudhu’, Mandi, Tayammum, Haid Dan Nifas, shalat, puasa haji , zakat dan lain-lain
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 4 [Fikih Muamalah]


Jilid 4 [Fikih Muamalah]
Buku ini menjelaskan tentang fiqih Mu’amalah yang Meliputi hal-hal berikut ini: Jual Beli Khiyar (Memilih), Salam (Pesanan), Riba, Pinjaman, Gadai, Jaminan, Hiwalah, (Pemindahan hutang), Berdamai, Hajr (boikot), Wakalah (perwakilan), Persekutuan, Musaqat dan muzara’ah, Persewaan, Sabaq (perlombaan), Peminjaman Rampasan, Syuf’ah dan syafa’ah, Titipan, Membuka lahan baru, Ju’alah (upah), Luqathah (barang temuan) dan laqith (yang menemukan) Waqaf, Pemberian dan sedekah, Wasiat, Memerdekakan.
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 5 [Ilmu Waris]


Jilid 5 [Ilmu Waris]
uku ini menjelaskan tentang fiqih yang bersumber alquran dan al hadits dan mencakup berbagai permasalahan penting seputar Bab Faraidh yang membahas seputar masalah : Ashab Furudh, Mirots Huntsa Musykil, Ashobah, Mirots Mafqud, Al Hajb, Mirots Ghorqo walHadma wa nahwih, Ta’siil Masalah, Mirots Qotil, Qismah Tarikah, Mirots Dzawil Arham, Mirots Haml, Mirots Mar’ah, Mirots Ahlul Milal
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 6 [Pernikahan dan hal2 yang berkaitan dengannya, Fikih Makanan, Minuman]


Jilid 6 [Pernikahan dan hal2 yang berkaitan dengannya, Fikih Makanan, Minuman]
Buku ini menjelaskan tentang fiqih yang bersumber alquran dan al hadits dan mencakup berbagai permasalahan penting seputar Nikah, Li’an (laknat), Talak, Iddah, Roj’ah (rujuk), Radha’ (menyusui)
Hulu’ (minta cerai), Hadhanah (hak asuh), Ila’, Nafkah, Dzihar, Makanan, Minuman, Sembelihan dan berburu
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 7 [Hukum Islam yang berkaitan dengan masalah Kriminal]


Jilid 7 [Hukum Islam yang berkaitan dengan masalah Kriminal]
Buku ini menjelaskan tentang fiqih yang bersumber alquran dan al hadits dan mencakup berbagai permasalahan penting Mencakup pembahasan berikut ini: Al Jinayat, Macam-macam pembunuhan, Membunuh dengan sengaja, Membunuh yang mirip dengan sengaja, Salah dalam membunuh, Qishas kurang dari jiwa, Diyat tubuh, diyat selain dari tubuh.
Link Download

Ensiklopedia-Islam Jilid 8 [Peradilan Islam]


Jilid 8 [Peradilan Islam]
Buku ini menjelaskan tentang fiqih peradilan yang bersumber alquran dan al hadits dan mencakup berbagai permasalahan penting diantaranya: Makna Qadha’ dan hukumnya, Fadilah dan Bahaya Qadha’, Adab-adab seorang Qadhi, Sifat hukum, Tuduhan dan persaksian.
Link Download